Tuesday 26 January 2016

Semuanya Aku Bisa.



Semuanya aku bisa...
Baiklah, aku terlalu naif kali ini (mungkin) atau bahkan sudah terlalu jatuh lebih dalam sampai aku tak  tahu lagi harus berkelut dengan alasan apa kemudian aku hanya pilihan untuk mengakui tanpa memiliki pilihan untuk mengulur waktu atau sekedar menikmati secangkir teh yang segar berdua sambil menceritakan beberapa cerita yang terlewatkan di beberapa minggu ini? Silahkan tertawa, tapi aku mohon jangan lari atau bahkan tak terdengar kabar seperti yang sudah-sudah. Aku hanya ingin sedikit bercerita kepadamu, tapi mungkin aku tak cukup nyali seperti amarahku yang kau lihat sore itu ketika aku menghempaskan seorang anak laki-laki yang kau sebut dengan “Raja Komplek-mu”  dan menurutmu saat itu aku bukan lagi aku yang sering kau lihat. Bahkan mataku tak lagi terlihat hitam seperti biasanya. Kau tahu aku selalu lemah ketika berbicara tentang ini. Silakan mengingat tapi jangan harap aku akan ingat lagi semuanya ketika kau membacanya.


Semuanya bisa aku taklukan,sayang. Kecuali kau lalu egomu.
Bagaimana harimu? Sedikit mencemaskan? Atau.. malah kecerian datang dengan begitu bertubi-tubi sampai membuatmu lupa menyisakan waktumu lagi untuk beribadah di Minggu pagi? “ah, kau terlalu lelah dengan teman-temanmu dimalam. Sampai kau lupa kenapa harus tetap bersyukur dengan tuhanmu” itu selalu kata yang aku ucapkan ketika kau melaporkan tentang hal yang lewatkan diakhir pekanmu. Tak mengapa, aku selalu memberi senyum ketika kau bercerita. Bahkan aku membawakan seloyang martabak dengan sebotol minuman favoritmu, Ice Green Tea. Kita selalu menghabiskan sehari penuh diminggu kedua dalam setiap bulan yang selalu kau sepakati tanpa harus bertanya denganku. Entahlah, kau seperti selalu tahu dengan jadwal kosongku. Aku selalu bisa menyisakan waktu untuk kita (walau hanya sekedar menemanimu duduk dan melihati kelenteng dan menghitung berapa banyak burung yang singgah kesana). Kau bahkan dengan konyolnya bisa menebak berapa kali dalam seminggu aku mandi saat liburan. Baiklah, aku mungkin tak mau jadi memo-mu yang mengingatkan semua momen yang nyaris kau benci lalu malah kuingat jelas dan selalu berakhir dengan kau tak menyapaku di WhatsApp.

Semuanya bisa aku ceritakan dengan lantang, tidak dengan satu hal, Kita.
“Lalu kenapa kau begitu ingat dengan semua cerita yang aku benci namun kau tak bisa menceritakan tentang kita?”
Kira-kira itu adalah pertanyaanmu saat selesai membaca paragraf berikutnya? Tidak, tidak.. Nyatanya  aku lupa  kenapa kita bisa sampai berkenalan lalu memutuskan untuk bertemu kembali setelah pertemuan yang kau ceritakan padaku sampai Hotdog-mu jatuh tapi kau masih dengan semangat menceritakan tanpa peduli dengan kejadian itu. Aku tak begitu yakin mengapa aku masih menjadi diriku sendiri saat setelah mengenalmu. Aku seperti menjadi Aku yang lain saat mengenalmu. Entah itu lebih baik atau bahkan lebih buruk. Percayalah, tak ada yang tercipta dengan kebetulan. Setidaknya aku atau kau sempat merencanakan suatu hal kemudian suatu takdir yang kita anggap “Kebetulan” itu datang. Hal yang paling aku suka saat mengenalmu mungkin adalah saat berbicara dengan  orang India, lalu kita berbicara kepadanya dengan bahasa Indonesia di Bandara semasa kita liburan di Malang. Kau ingat? Aku saat itu terdiam karna kau tak hentinya menahan tawa kemudian ketika kita sampai di Taxi kau melepaskan tawamu sampai akhirnya aku sampai dipelukanmu. Entahlah, semua terjadi begitu cepat dan.. ini bukan hal yang kau benci, mungkin aku yang ingin kau peluk lagi namun waktu atau kita yang tak ingin itu kembali.



Semuanya bisa aku hitung dengan cepat dan akurat, tapi tidak dengan satu hitungan: “Berapa Lama Aku Menyimpan Rasa ini?”

Kau begitu lihai dengan angka-angka sampai-sampai aku nyaris bingung kenapa kau bisa masuk di Fakultas Hukum yang menurutku “Menyalahi Aturan” dan kau tertawa dan menarikku kedalam Mobilmu. Mungkin jika Mobilmu bisa mengeluh dia adalah Benda Mati yang akan hidup, mengapa tidak? Kau bisa menempuh Medan-Aceh setiap minggunya dan mengendarainya sendiri. Aku tak yakin kau menghabiskan waktumu ketika dilampu merah dengan menunggu kemacetan, aku lebih yakin kau menghitung berapa banyak kendaraan yang ada didepanmu sampai dititik lampu merah terdepan. Kurang kerjaan? Ah entahlah, sejak aku mulai ikut melakukannya sendiri saat tak denganmu aku juga sudah jadi orang yang kurang kerjaan menurutku.


Semuanya bisa aku berikan sayang, tapi tidak dengan satu hal. Kau tahu apa kira-kira? Yah, masa depan kita.

Kau masih disitu bukan? Membaca hingga cerita ini selesai? Aku tak akan meninggalkan pesan apapun untukmu. Tidak.. tidak, setelah kau membacanya hingga selesai.
Lalu bagaimana dengan kuliahmu? Menurut ceritamu terakhir, kau ingin melanjutkan studi-mu ke salah satu Perguruan tinggi di Aussie? Atau manalah itu, Belanda yah? Kau yakin bisa melewatkan sehari tanpa rumahmu? Saat kau kuajak berlibur ke Malang saja buktinya ketika malam awal disana kau menangis hebat, yang kuingat saat itu kau mengatakan kau merindukan wangi bunga dari jendela kamarmu. Menurutmu, Wangi bunga itu akan lain jika dicium langsung didepan. Kau sering membuktikannya padaku dengan membawaku ke kamarmu. Jika aku boleh jujur, aku bukanlah penyuka bunga sepertimu. Bahkan aku tak bisa membedakan wangi bunga. Kau akan menemukan seribu bunga yang indah di Australia, bahkan di Belanda sekalipun. Tapi, kau takkan bisa menikmati teh yang segar sambil melihat kamarku dari taman halaman rumahmu. Baiklah, sebaiknya aku melanjutkannya daripada aku semakin ngaur dan membuatmu marah besar. Belanda mungkin punya banyak cerita, bahkan Australia menawarkan banyak warna tapi kau akan benar mengerti bahwa warna bahkan cerita akan begitu terbentang indah disini. Aku hanya bisa menawarkan dan kau pula yang memutuskan, seperti tawaranku untuk menikahimu ketika aku menyelesaikan studi-ku dan bekerja 2 tahun. Dan kau tertawa, tertawa sangat puas. Entah apa artinya, yang kuingat setelah itu kita pergi ke sebuah cafe dan kau bercerita  tentang seorang lelaki yang kau sebut “Kekasihmu”. Sepanjang perjalanan pulang kita berdiam, bahkan jalanan tol lebih ramai dibanding kita yang sama-sama sadar ini. Jika kau izinkan, mungkin aku hanya akan tertinggal sebagai surat dan kemudian akan terbang sebagai air. Seperti surat undangan pernikahanmu yang sampai dirumahku dan air mata yang turun dengan seketika saat terbayang denganmu. Entah aku yang berlebihan, atau kau yang keterlaluan.

No comments:

Post a Comment

(masih) salahku

menurutku, beberapa kisah yang tak menarik tak perlu repot-repot dibuatkan tulisannya, kukira kau bukan salah satunya. memberi luka juga me...