Semuanya aku bisa...
Baiklah, aku terlalu naif kali ini (mungkin)
atau bahkan sudah terlalu jatuh lebih dalam sampai aku tak tahu lagi harus berkelut dengan alasan apa
kemudian aku hanya pilihan untuk mengakui tanpa memiliki pilihan untuk mengulur
waktu atau sekedar menikmati secangkir teh yang segar berdua sambil
menceritakan beberapa cerita yang terlewatkan di beberapa minggu ini? Silahkan tertawa,
tapi aku mohon jangan lari atau bahkan tak terdengar kabar seperti yang
sudah-sudah. Aku hanya ingin sedikit bercerita kepadamu, tapi mungkin aku tak
cukup nyali seperti amarahku yang kau lihat sore itu ketika aku menghempaskan
seorang anak laki-laki yang kau sebut dengan “Raja Komplek-mu” dan menurutmu saat itu aku bukan lagi aku
yang sering kau lihat. Bahkan mataku tak lagi terlihat hitam seperti biasanya.
Kau tahu aku selalu lemah ketika berbicara tentang ini. Silakan mengingat tapi
jangan harap aku akan ingat lagi semuanya ketika kau membacanya.
Semuanya bisa aku taklukan,sayang. Kecuali kau
lalu egomu.
Bagaimana harimu? Sedikit mencemaskan? Atau..
malah kecerian datang dengan begitu bertubi-tubi sampai membuatmu lupa
menyisakan waktumu lagi untuk beribadah di Minggu pagi? “ah, kau terlalu lelah
dengan teman-temanmu dimalam. Sampai kau lupa kenapa harus tetap bersyukur dengan
tuhanmu” itu selalu kata yang aku ucapkan ketika kau melaporkan tentang hal
yang lewatkan diakhir pekanmu. Tak mengapa, aku selalu memberi senyum ketika
kau bercerita. Bahkan aku membawakan seloyang martabak dengan sebotol minuman
favoritmu, Ice Green Tea. Kita selalu
menghabiskan sehari penuh diminggu kedua dalam setiap bulan yang selalu kau
sepakati tanpa harus bertanya denganku. Entahlah, kau seperti selalu tahu
dengan jadwal kosongku. Aku selalu bisa menyisakan waktu untuk kita (walau
hanya sekedar menemanimu duduk dan melihati kelenteng dan menghitung berapa
banyak burung yang singgah kesana). Kau bahkan dengan konyolnya bisa menebak
berapa kali dalam seminggu aku mandi saat liburan. Baiklah, aku mungkin tak mau
jadi memo-mu yang mengingatkan semua
momen yang nyaris kau benci lalu malah kuingat jelas dan selalu berakhir dengan
kau tak menyapaku di WhatsApp.
Semuanya bisa aku ceritakan dengan lantang,
tidak dengan satu hal, Kita.
“Lalu kenapa kau begitu ingat dengan semua
cerita yang aku benci namun kau tak bisa menceritakan tentang kita?”
Kira-kira itu adalah pertanyaanmu saat selesai
membaca paragraf berikutnya? Tidak, tidak.. Nyatanya aku lupa
kenapa kita bisa sampai berkenalan lalu memutuskan untuk bertemu kembali
setelah pertemuan yang kau ceritakan padaku sampai Hotdog-mu jatuh tapi kau masih dengan semangat menceritakan tanpa
peduli dengan kejadian itu. Aku tak begitu yakin mengapa aku masih menjadi
diriku sendiri saat setelah mengenalmu. Aku seperti menjadi Aku yang lain saat
mengenalmu. Entah itu lebih baik atau bahkan lebih buruk. Percayalah, tak ada
yang tercipta dengan kebetulan. Setidaknya aku atau kau sempat merencanakan
suatu hal kemudian suatu takdir yang kita anggap “Kebetulan” itu datang. Hal
yang paling aku suka saat mengenalmu mungkin adalah saat berbicara dengan orang India, lalu kita berbicara kepadanya
dengan bahasa Indonesia di Bandara semasa kita liburan di Malang. Kau ingat?
Aku saat itu terdiam karna kau tak hentinya menahan tawa kemudian ketika kita
sampai di Taxi kau melepaskan tawamu sampai akhirnya aku sampai dipelukanmu.
Entahlah, semua terjadi begitu cepat dan.. ini bukan hal yang kau benci,
mungkin aku yang ingin kau peluk lagi namun waktu atau kita yang tak ingin itu
kembali.
Semuanya bisa aku hitung dengan cepat dan
akurat, tapi tidak dengan satu hitungan: “Berapa Lama Aku Menyimpan Rasa ini?”
Kau begitu lihai dengan angka-angka
sampai-sampai aku nyaris bingung kenapa kau bisa masuk di Fakultas Hukum yang
menurutku “Menyalahi Aturan” dan kau tertawa dan menarikku kedalam Mobilmu.
Mungkin jika Mobilmu bisa mengeluh dia adalah Benda Mati yang akan hidup,
mengapa tidak? Kau bisa menempuh Medan-Aceh setiap minggunya dan mengendarainya
sendiri. Aku tak yakin kau menghabiskan waktumu ketika dilampu merah dengan
menunggu kemacetan, aku lebih yakin kau menghitung berapa banyak kendaraan yang
ada didepanmu sampai dititik lampu merah terdepan. Kurang kerjaan? Ah entahlah,
sejak aku mulai ikut melakukannya sendiri saat tak denganmu aku juga sudah jadi
orang yang kurang kerjaan menurutku.
Semuanya bisa aku berikan sayang, tapi tidak
dengan satu hal. Kau tahu apa kira-kira? Yah, masa depan kita.
Kau masih disitu bukan? Membaca hingga cerita
ini selesai? Aku tak akan meninggalkan pesan apapun untukmu. Tidak.. tidak,
setelah kau membacanya hingga selesai.
Lalu bagaimana dengan kuliahmu? Menurut
ceritamu terakhir, kau ingin melanjutkan studi-mu ke salah satu Perguruan
tinggi di Aussie? Atau manalah itu, Belanda yah? Kau yakin bisa melewatkan
sehari tanpa rumahmu? Saat kau kuajak berlibur ke Malang saja buktinya ketika
malam awal disana kau menangis hebat, yang kuingat saat itu kau mengatakan kau
merindukan wangi bunga dari jendela kamarmu. Menurutmu, Wangi bunga itu akan
lain jika dicium langsung didepan. Kau sering membuktikannya padaku dengan
membawaku ke kamarmu. Jika aku boleh jujur, aku bukanlah penyuka bunga
sepertimu. Bahkan aku tak bisa membedakan wangi bunga. Kau akan menemukan
seribu bunga yang indah di Australia, bahkan di Belanda sekalipun. Tapi, kau
takkan bisa menikmati teh yang segar sambil melihat kamarku dari taman halaman
rumahmu. Baiklah, sebaiknya aku melanjutkannya daripada aku semakin ngaur dan
membuatmu marah besar. Belanda mungkin punya banyak cerita, bahkan Australia
menawarkan banyak warna tapi kau akan benar mengerti bahwa warna bahkan cerita
akan begitu terbentang indah disini. Aku hanya bisa menawarkan dan kau pula
yang memutuskan, seperti tawaranku untuk menikahimu ketika aku menyelesaikan
studi-ku dan bekerja 2 tahun. Dan kau tertawa, tertawa sangat puas. Entah apa
artinya, yang kuingat setelah itu kita pergi ke sebuah cafe dan kau
bercerita tentang seorang lelaki yang
kau sebut “Kekasihmu”. Sepanjang perjalanan pulang kita berdiam, bahkan jalanan
tol lebih ramai dibanding kita yang sama-sama sadar ini. Jika kau izinkan,
mungkin aku hanya akan tertinggal sebagai surat dan kemudian akan terbang
sebagai air. Seperti surat undangan pernikahanmu yang sampai dirumahku dan air
mata yang turun dengan seketika saat terbayang denganmu. Entah aku yang
berlebihan, atau kau yang keterlaluan.